1. Pengertian Syariat Islam
Menurut bahasa, Syariat berarti jalan menuju
tempat keluarnya air minum atau jalan lurus yang harus diikuti. Menurut istilah
syariat artinya hukum-hukum dan tata aturan Allah SWT yang ditetapkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.
Syariat Islam mengatur kehidupan manusia sebagai
makhluk individual, maksudnya seorang hamba harus taat, tunduk dan patuh kepada
Allah SWT.
Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah
diatur dalam syariat Islam.
Syariat Islam juga mengatur hubungan manusia
dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah sehingga terwujud kesalehan
sosial. Selain itu syariat Islam juga mengatur hubungan manusia dengan alam
semesta untuk mewujudkan lingkungan alam yang makmur dan lestari. Dalam hal ini
AllahSWT
berfirman dalam Qur’an surat Al Maidah: 48:
“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang
kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan
yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”.
(QS. Al Maidah: 48).
2. Prinsip-Prinsip Syariat Islam
Syari’ah Islam mempunyai prinsip-prinsip yang
secara keseluruhan merupakan kekhususan (spesifikasi) yang membedakan dengan
peraturan-peraturan lainnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut ada tiga, yaitu :
a.
Tidak
Memberatkan
Hal ini berarti bahwa syari’ah Islam tidak
membebani manusia dengan kewajiban di luar kemampuannya, sehingga tidak berat
untuk dilaksanakan. Firman Allah SWT antara lain :
“...
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. “ (QS. Al Hajj: 78).
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185).
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa):”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan
kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkau-lah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS.
Al Baqarah: 286).
Ayat-ayat yang bersifat umum tersebut telah
dijadikan pokok dan dasar syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang demikian itu,
diadakan rukhshah, yakni aturan-aturan yang meringankan agar jangan menempatkan
orang Islam dalam keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan Al Qur’an
disebutkan :
1). Keringanan berbuka puasa bagi orang yang
sedang sakit atau dalam perjalanan :
“... Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya ...”
(QS. Al Baqarah: 184).
2). Keringanan bertayamum bagi orang yang tidak
boleh menggunakan air :
“...dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
3). Keringanan membolehkan memakan bangkai atau makanan lainnya
apabila dalam keadaan terpaksa :
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak
ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).
b.
Menyedikitkan
Beban
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya
akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah: 101).
Kandungan ayat tersebut menunjukkan bahwa hal-hal
yang tidak disebutkan dalam syari’at Islam tidak perlu dipertikaikan bagaimana
ketentuan hukumnya, hal itu merupakan rahmat Allah SWT untuk tidak memperbanyak
beban kepada umat manusia.
Sabda Rasulullah SAW :
وَقَدْ سُئِلَ عَنِ الْحَجِّ افِى كُلِّ عَامٍ؟ فَقَالَ: لَوْ
قُلْتُ نَعَمْ لَوْ جَبَتْ ذَرُوْنِيْ مَا تَركْتُمْ فَاِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةٍ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ اَنْبِيَائِهِمْ (الحديث)
“Rasulullah
SAW. telah ditanya tentang haji: Apakah
haji itu harus dilakukan setiap tahun ? Rasulullah SAW menjawab : Jika aku
katakan ya, pasti akan menjadi wajib,
maka biarkanlah apa yang aku tidak kerjakan bagimu, karena hancurnya
orang-orang umat sebelum kamu karena banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan
pendapat mereka terhadap Nabi mereka.” (Al Hadits).
c.
Berangsur-angsur
Dalam Menetapkan Hukum
Pada awal ajaran Islam diturunkan, Allah SWT belum menetapkan hukum secara tegas
dan terperinci, karena bangsa Arab pada waktu itu telah menggunakan adat
kebiasaan mereka sebagai peraturan dalam kehidupan. Pada saat itu adat mereka ada yang baik dan dapat diteruskan, tetapi
ada pula yang membahayakan dan tidak layak untuk diteruskan. Oleh karena itu syari’ah secara berangsur-angsur menetapkan
hukum agar tidak mengejutkan bangsa yang baru mengenalnya, sehingga perubahan
itu tidak terlalu dirasakan yang akhirnya sampai pada ketentuan hukum syari’ah yang tegas.
Tahapan-tahapan dalam menetapkan syari’ah Islam menempuh cara
sebagai berikut :
1). Berdiam
diri, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena buat sementara masih
perlu diperkenankan, yang kemudian akan diharamkan. Cara ini dilakukan antara
lain dalam masalah warisan. Islam tidak segera membatalkan hukum warisan
jahiliyah, tetapi akhirnya diganti dengan hukum warisan Islam dan sekaligus
membatalkan hukum warisan Jahiliyah tersebut.
2). Mengemukakan
permasalahan secara mujmal, yakni dikemukakan secara terperinci. Hal ini dapat
dilihat antara lain dalam hukum peperangan, Firman Allah SWT :
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang
yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya
Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (QS. Al Hajj: 39).
3). Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur,
sebagaimana ditemui dalam cara mengharamkan khamar (arak). Rasulullah SAW. pernah
ditanya tentang khamar dan maisir (Judi), yang sudah menjadi kebiasaan
dikalangan masyarakat Arab waktu itu. Firman Allah SWT :
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,”
(QS. Al Baqarah: 219).
Dengan ayat tersebut, syari’ah belum menetapkan
arak dan judi haram, tetapi dengan menyebut dosanya lebih besar, ada kesan
melarangnya.
Baru pada tahap berikutnya Allah mengharamkannya
dengan perintah untuk meninggalkannya. Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90).
d.
Memperhatikan
kemaslahatan manusia dalam menetapkan hukum
Allah dalam menetapkan hukum selalu memepertimbangkan
kemaslahatan hidup umat manusia. Oleh karena itu dalam proses penetapan hukum
senantiasa didasarkan pada tiga aspek :
1). Hukum
ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum tersebut.
2). Hukum
ditetapkan hanya menurut kadar kebutuhan masyarakat.
3). Hukum
hanya ditetapkan oleh lembaga pemerintah yang berhak menetapkan hukum.
e.
Keadilan yang
merata
Menurut syariat Islam kedudukan semua orang adalah
sama dihadapan Allah, yang membedakan adalah tingkatan taqwa mereka. Oleh
karena itu orang yang kaya dengan orang yang miskin sama dihadapan Allah dalam
hal pengadilannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al Maidah: 8
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.
Al Maidah: 8).
3. Tujuan Syariat Islam ( Maqhasid Al Syariah )
Menurut ahli ushul Fiqih ada lima prinsip dasar yang harus
dijaga dan dipelihara oleh manusia, oleh karena itu
tujuan syariat islam adalah :
- Untuk memelihara agama (Hifdz Al din)
Maksudnya adalah kewajiban menjaga dan memelihara
tegaknya agama dimuka bumi. Agama diturunkan oleh Allah untuk dijadikan pedoman
hidup dalam hablum minallah dan hablum minannas, sehingga manusia akan sejahtera dan
tenteram dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Oleh karena itu agama
menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan mutlak bagi manusia. Tanpa
bimbingan dan tuntunan agama manusia tidak mungkin dapat mengatur dirinya
sendiri apalagi mengatur orang lain. Adapun cara-cara menajaga dan melestarikan
agama adalah dengan melaksanakan apa yang disyariatkan agama itu dengan
melakukan secara baik dan benar.
Menjaga dan mempertahankan agama
hukumnya wajib, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَشَهِيْدٌ. وَمَنْ
قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَشَهِيْدٌ. وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ
شَهِيْدٌ ومَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ (رواه البخار
ومسلم)
“ Siapa yang gugur dalam mempertahankan hartanya ia syahid, siapa
yang gugur dalam mempertahankan darahnya ia syahid, siapa yang gugur dalam
mempertahankan agamanya ia syahid, siapa yang gugur dalam mempertahankan
keluarganya ia syahid “(HR. Bukhari dan Muslim).
- Memelihara jiwa (Hifdz al Nafs)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara jiwa
manusia sesuai firman Allah QS. Al Isra’: 33
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar*. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka
Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan* kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan”. (QS. Al Israa: 33)
Keterangan :
* Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti
qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.
* Maksudnya: kekuasaan di sini ialah hal ahli waris
yang terbunuh atau Penguasa untuk menuntut kisas atau menerima diat. Qishaash
ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang
membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar
diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya
dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya
dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban
sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh,
atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia
diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Diat ialah
pembayaran sejumlah harta Karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa
atau anggota badan.
- Memelihara akal (Hifdz Al Aql)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara akal karena
akal merupakan anugerah Allah yang sangat prinsip karena tidak diberikan kepada
makhluk selain manusia. Akal inilah diantara anugerah
Allah yang paling utama, sehingga dapat membedakan antara manusia dengan
makhluk lain dan dapat membedakan antara manusia yang sehat jiwanya dengan
manusia yang tidak sehat jiwanya
Firman
Allah QS. Ali Imran: 29-30 :
29. Katakanlah: "Jika
kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti
Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa
yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
30. Pada hari ketika tiap-tiap
diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan
yang Telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada
masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah
sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. (QS.
Ali Imran: 29-30).
- Memelihara keturunan (Hifdz Al Nasl)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara keturunan
yang baik karena dengan memelihara
keturunan,
agama akan berfungsi, dunia akan terjaga, bumi akan termakmurkan.
Firman
Allah QS. Al Baqarah: 180:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 180).
- Memelihara harta (Hifdz Al Mal)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara harta benda
dalam rangka sebagai sarana untuk beribadah kepadanya.
Firman
Allah QS. An Nisa: 7 :
“Bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.” QS. An Nisa: 7 )
Dan
dijelaskan pula dalam Al Qur’an surat An Nisa’ : 11:
“Allah mensyari'atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal
itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An Nisa’: 11)
Menurut pendapat yang lain dijelaskan bahwa syari’ah Islam bertujuan antara lain :
1.
Untuk
menunjukkan bahwa ajaran dan ketentuan Allah itu lebih tinggi dan luhur
nilainya dibandingkan dengan pemikiran manusia, sesuai dengan firman Allah SWT
:
“.... dan Allah menjadikan seruan orang-orang
kafir Itulah yang rendah. Dan kalimat Allah Itulah yang Tinggi. Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”
(QS. At
Taubah: 40).
2.
Untuk
melaksanakan syari’ah yang telah ditetapkan Allah kepada umat manusia. Hal ini
karena Allah SWT telah menetapkan bagi tiap-tiap umat syari’ahnya
masing-masing, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :
“Bagi tiap-tiap umat Telah kami tetapkan
syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka
membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu.
Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” (QS. Al Hajj: 67).
3.
Untuk
mempersatukan pandangan hidup manusia, agar semuanya berada pada jalan yang
benar yang juga mempersatukan dalam segala sikap dan perbuatan. Firman Allah
SWT. :
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah
jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain)*), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan
kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”
(QS. Al An’am: 153).
Keterangan :
* Maksudnya: janganlah kamu mengikuti agama-agama dan
kepercayaan yang lain dari islam. Mujahid mengartikan “As Subul” dengan segala
macam bid’ah dan jalan-jalan yang tidak benar.
4.
Untuk kesejahteraan
dan kemaslahatan hidup manusia. Untuk itu syari’ah Islam menjamin terwujudnya
tiga hal yang merupakan kebutuhan hidup manusia, yaitu :
a.
Adanya
perlindungan terhadap masalah pokok dalam kehidupan yang meliputi lima hal,
yaitu : 1). Perlindungan terhadap agama, 2). Jiwa, 3). Akal, 4). Kehormatan dan
5). Harta kekayaan. Masalah tersebut disebut Dharury (pokok)
b.
Terbukanya
jalan untuk mengatasi kesulitan dan hal yang memberatkan dalam melaksanakan
kewajiban, sehingga memberikan kemudahan dan keringanan. Kebutuhan untuk
membebaskan dari hal yang memberatkan itu disebut “Hajiyah” (kebutuhan
penting). Hal ini diwujudkan dalam syari’ah dengan adanya rukhshah dalam
beberapa hal, seperti boleh shalat jamak dan qasar bagi orang yang dalam
perjalanan jauh.
c.
Memberikan
kesempatan kepada manusia untuk melengkapi dan menyempurnakan kehidupannya,
sebagai contoh dalam syari’ah ditemuinya ketentuan tentang amalan-amalan sunat,
keharusan bersih dan suci badan, pakaian dan tempat dalam melakukan shalat,
keharusan bersikap jujur dalam pergaulan bermasyarakat, adanya larangan
membunuh orang lanjut usia dan anak kecil dalam perang dan lain-lain. Ketentuan
seperti itu disebut tahsiniyah (pelengkap).
Mantap gan, sangat membantu matur thank you
BalasHapus