PEMERIKSAAN ANTI MULLERIAN HORMONE (AMH)
Source: http://infolaboratoriumkesehatan.wordpress.com/2013/02/06/pemeriksaan-anti-mullerian-hormone-amh/
(23/7)Sampai saat ini strategi yang paling
optimum untuk program stimulasi ovarium terkontrol (Controlled Ovarian
Stimulation=COS) pada bidang reproduksi berbantu (In Vitro
Fertilization=IVF) masih menjadi perdebatan. Pemeriksaan cadangan
ovarium merupakan isu penting dalam bidang infertilitas dan IVF.
Pemeriksaan cadangan ovarium meliputi penanda serologis dan penanda
ultrasonografi (USG) seperti antral follicle count (AFC) dan volume
ovarium. Penanda serologis meliputi follicle stimulating hormone (FSH),
estrogen dan inhibin B, tetapi penanda tersebut memiliki keterbatasan
dalam memperkirakan respon ovarium karena tergantung siklus menstruasi
(2, 3). Perbandingan variabilitias pada inter dan intra siklus
menunjukkan bahwa Anti Mullerian
Hormone (AMH) lebih baik daripada AFC.
Tingginya variabilitas pada AFC disebabkan oleh reproduksibilitas dan
standarisasi AFC itu sendiri, variasi intra dan inter observer serta
pendeknya waktu ukur folikel, karena folikel terus berkembang sehingga
dari waktu ke waktu ukurannya terus berubah. Oleh sebab itu disarankan
pengukuran AFC yang dihitung adalah range ukuran 2-10 mm, karena lebih
stabil dibandingkan range 2-5 mm (2). Saat ini serum AMH merupakan
penanda baru fungsi ovarium yang menjanjikan. AMH termasuk anggota
superfamiliTransforming Growth Factor (TGF) Ī². AMH diekspresikan oleh
folikel preantral yang sedang bertumbuh dan sel granulosa pada
folikel small antral, sedangkan folikel atretik dan sel theka tidak
mengekspresikan AMH (3).
MANFAAT PEMERIKSAAN HBsAg KUANTITATIF
Infeksi hepatitis B virus (HBV) kronis
adalah “silent disease” dan seringkali tidak terdiagnosis. Sekitar
sepertiga pasien dengan infeksi HBV kronis akan mengalami konsekuensi
jangka panjang seperti sirosis, end-stage liver disease, atau kanker
hepatoselular (1). Berdasarkan data WHO tahun 2011 diperkirakan bahwa
terdapat 100 juta pengidap hepatitis B carrierdengan lebih dari 5,6%
dari populasi tersebut hidup di kawasan Asia Tenggara. Lebih dari
300.000 pengidap hepatitis B tersebut meninggal setiap tahun terutama
karena efek infeksi hepatitis B kronis seperti sirosis dan kanker
hepatoselular (2). Infeksi HBV kronis merupakan kondisi dinamis yang
dipengaruhi oleh interaksi antara virus, hepatosit dan sistem imun host.
Perjalanan infeksi HBV kronis dapat dibagi menjadi beberapa fase yaitu
fase immune tolerant, fase immune clearance, faseimmune control dan
fase immune escape (3). Pemeriksaan laboratorium penting dilakukan untuk
mengetahui fase infeksi hepatitis B. Dengan mengetahui fase infeksi,
maka dapat ditentukan waktu yang tepat kapan dimulainya terapi sehingga
tujuan akhir terapi dapat tercapai. Terapi dianjurkan untuk diberikan
pada pasien HBV kronis yang berada pada fase immune clearance and fase
reaktivasi yang ditandai dengan peningkatan HBV DNA dan ALT, atau
terlihat melalui hasil biopsi (3).
Sumber : Prodia.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar