Senin, 22 Juli 2013

PEMERIKSAAN ANTI MULLERIAN HORMONE (AMH)

PEMERIKSAAN ANTI MULLERIAN HORMONE (AMH)

Source: http://infolaboratoriumkesehatan.wordpress.com/2013/02/06/pemeriksaan-anti-mullerian-hormone-amh/

 
ANTI MULLERIAN HORMONE (AMH)

ANTI MULLERIAN HORMONE (AMH)

 (23/7)Sampai saat ini strategi yang paling optimum untuk program stimulasi ovarium terkontrol (Controlled Ovarian Stimulation=COS) pada bidang reproduksi berbantu (In Vitro Fertilization=IVF) masih menjadi perdebatan. Pemeriksaan cadangan ovarium merupakan isu penting dalam bidang infertilitas dan IVF. Pemeriksaan cadangan ovarium meliputi penanda serologis dan penanda ultrasonografi (USG) seperti antral follicle count (AFC) dan volume ovarium. Penanda serologis meliputi follicle stimulating hormone (FSH), estrogen dan inhibin B, tetapi penanda tersebut memiliki keterbatasan dalam memperkirakan respon ovarium karena tergantung siklus menstruasi (2, 3). Perbandingan variabilitias pada inter dan intra siklus menunjukkan bahwa Anti Mullerian

Hormone (AMH) lebih baik daripada AFC. Tingginya variabilitas pada AFC disebabkan oleh reproduksibilitas dan standarisasi AFC itu sendiri, variasi intra dan inter observer serta pendeknya waktu ukur folikel, karena folikel terus berkembang sehingga dari waktu ke waktu ukurannya terus berubah. Oleh sebab itu disarankan pengukuran AFC yang dihitung adalah range ukuran 2-10 mm, karena lebih stabil dibandingkan range 2-5 mm (2). Saat ini serum AMH merupakan penanda baru fungsi ovarium yang menjanjikan. AMH termasuk anggota superfamiliTransforming Growth Factor (TGF) Ī². AMH diekspresikan oleh folikel preantral yang sedang bertumbuh dan sel granulosa pada folikel small antral, sedangkan folikel atretik dan sel theka tidak mengekspresikan AMH (3).

MANFAAT PEMERIKSAAN HBsAg KUANTITATIF
Infeksi hepatitis B virus (HBV) kronis adalah “silent disease” dan seringkali tidak  terdiagnosis. Sekitar sepertiga pasien dengan infeksi HBV kronis akan mengalami konsekuensi jangka panjang seperti sirosis, end-stage liver disease, atau kanker hepatoselular (1). Berdasarkan data WHO tahun 2011 diperkirakan bahwa terdapat 100 juta pengidap hepatitis B carrierdengan lebih dari 5,6% dari populasi tersebut hidup di kawasan Asia Tenggara. Lebih dari 300.000 pengidap hepatitis B tersebut meninggal setiap tahun terutama karena efek infeksi hepatitis B kronis seperti sirosis dan kanker hepatoselular (2). Infeksi HBV kronis merupakan kondisi dinamis yang dipengaruhi oleh interaksi antara virus, hepatosit dan sistem imun host. Perjalanan infeksi HBV kronis dapat dibagi menjadi beberapa fase yaitu fase immune tolerant, fase immune clearance, faseimmune control dan fase immune escape (3). Pemeriksaan laboratorium penting dilakukan untuk mengetahui fase infeksi hepatitis B. Dengan mengetahui fase infeksi, maka dapat ditentukan waktu yang tepat kapan dimulainya terapi sehingga tujuan akhir terapi dapat tercapai. Terapi dianjurkan untuk diberikan pada pasien HBV kronis yang berada pada fase immune clearance and fase reaktivasi yang ditandai dengan peningkatan HBV DNA dan ALT, atau terlihat melalui hasil biopsi (3).

Sumber : Prodia.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar